Bulan Maret lalu sekolah mengutus saya untuk mengikuti seleksi Guru Berprestasi yang diselenggarakan Disdik Kota. Setelah mendaftar, mengikuti acara pembukaan dan mendapatkan nomor serta tanda peserta seluruh peserta menuju tempat seleksi yang telah ditentukan untuk setiap jenjang pendidikan.
Karena tempat parkir penuh, saya menunggu hingga saya bisa keluar dari area parkir sambil "say Hello" dan berbincang dengan beberapa guru dan kepala sekolah yang kebetulan kenal, sehingga saya agak terlambat sampai di tempat seleksi yang berjarak kurang lebih 2 km dari tempat diselenggarakannya upacara pembukaan.
Setiba di ruangan seleksi, Tim Penilai sedang memberikan pengarahan tentang rambu-rambu dan kriteria dalam proses seleksi. Saya masuk dan mencari tempat duduk kosong yang ternyata sudah tidak ada lagi :( (padahal peserta seleksi hanya 23 orang untuk jenjang SMA). Panitia meminta saya menunggu sementara mereka mencari kursi tambahan.
Saya berdiri di bagian belakang ruang. Seorang bapak berdiri lalu mempersilakan saya duduk di tempat duduknya, Karena merasa jauh lebih muda, saya merasa tidak enak menerima kebaikan hati tersebut dan berusaha menolak dengan sopan. Beliau tetap mempersilakan, agar tidak memperpanjang perdebatan saya pun duduk.
Sambil menandatangani daftar hadir saya membaca nama-nama yang tertera, dan saya sempat nervous ketika membaca dua nama. Satu nama adalah Guru Matematika saya di SMP (bermigrasi menjadi guru SMA dan pernah menjabat sebagai kepala sekolah sebuah SMA), nama kedua adalah Guru Biologi saya di SMA. Secara kualitas sebenarnya dua nama tersebut tidak perlu membuat saya 'down' tapi secara profesionalitas dan pengalaman mereka adalah orang-orang yang lebih layak dan berhak disebut sebagai Guru Berprestasi.
Telinga saya terus mendengarkan pengarahan panitia dan tim penilai, namun mata saya terus mencari-cari sosok yang namanya saya temukan dalam daftar peserta. Guru SMA saya ternyata duduk berselang dua orang di sebelah kiri , Guru (bahkan walikelas) saya di SMP belum saya temukan meskipun mata saya lelah berputar ke sekeliling ruangan.
Tiba-tiba saya ingat bapak yang sekarang berdiri di belakang saya karena kursinya diberikan kepada saya, saya pun menoleh ke belakang dan membaca name tag didadanya. Subhanallah...saya langsung berdiri dan saya sebut namanya, saya salami dan cium tangannya, sambil menjelaskan bahwa saya muridnya di SMPN 5 dulu. Wajahnya sudah banyak berubah dibandingkan 25 tahun lalu. Dia agak terperangah tapi kemudian tersenyum cerah. Bertepatan dengan panitia yang datang membawakan kursi tambahan. Pak Guru saya pun duduk di sebelah saya.
Sesi awal adalah tes tertulis, jenis soal merupakan aplikasi dari kemampuan pedagogik, akademik, profesional, sosial, teknologi informasi dan komunikasi. Awalnya saya malu untuk bertanya tentang beberapa poin yang saya tidak tahu, tapi ketika saya lihat beliau memilih opsi yang keliru pada sebuah poin soal dengan sopan saya mengingatkan bahwa jawaban yang benar adalah opsi lainnya. Berikutnya kami berdiskusi untuk menjawab soal-soal lainnya. Tidak terlihat seperti murid dan guru tetapi sebagai sesama guru. Meskipun saya tetap menempatkan dan memperlakukan beliau sebagai guru.
Sesi berikutnya adalah membuat essay tentang visi, misi, kegiatan, dan prestasi selama menjadi guru. Pak Guru ternyata memang lebih siap dari saya. Beliau sudah membuatnya di rumah, sementara saya malah belum punya gambaran apa pun tentang yang harus ditulis. Lalu beliau mengajari saya untuk membuat semacam evaluasi diri yang dituangkan dalam bentuk essay. Saya langsung membuka notebook dan mulai menulis.
Ternyata Panitia meminta softcopy dari essay dan persiapan presentasi dengan MsPP. Nah, Pak Guru saya mulai kebingungan. Penguasaan teknologinya agak lemah. Dengan sigap saya menawarkan diiri untuk membuatkan kembali sebuah essay dan persiapan presentasinya. Belaiu menjawab : 'selesaikan dulu punyamu, nanti baru bantu saya.. saya sudah sepuh, tidak jadi guru berprestasi jg tidak apa-apa..' Sedangkan saya berpikir berbeda, tanpa menjadi guru berprestasi pun dengan membantu orang lain agar mendapatkan predikat guru berprestasi berarti saya sudah mendapatkan prestasi.
Karena tempat parkir penuh, saya menunggu hingga saya bisa keluar dari area parkir sambil "say Hello" dan berbincang dengan beberapa guru dan kepala sekolah yang kebetulan kenal, sehingga saya agak terlambat sampai di tempat seleksi yang berjarak kurang lebih 2 km dari tempat diselenggarakannya upacara pembukaan.
Setiba di ruangan seleksi, Tim Penilai sedang memberikan pengarahan tentang rambu-rambu dan kriteria dalam proses seleksi. Saya masuk dan mencari tempat duduk kosong yang ternyata sudah tidak ada lagi :( (padahal peserta seleksi hanya 23 orang untuk jenjang SMA). Panitia meminta saya menunggu sementara mereka mencari kursi tambahan.
Saya berdiri di bagian belakang ruang. Seorang bapak berdiri lalu mempersilakan saya duduk di tempat duduknya, Karena merasa jauh lebih muda, saya merasa tidak enak menerima kebaikan hati tersebut dan berusaha menolak dengan sopan. Beliau tetap mempersilakan, agar tidak memperpanjang perdebatan saya pun duduk.
Sambil menandatangani daftar hadir saya membaca nama-nama yang tertera, dan saya sempat nervous ketika membaca dua nama. Satu nama adalah Guru Matematika saya di SMP (bermigrasi menjadi guru SMA dan pernah menjabat sebagai kepala sekolah sebuah SMA), nama kedua adalah Guru Biologi saya di SMA. Secara kualitas sebenarnya dua nama tersebut tidak perlu membuat saya 'down' tapi secara profesionalitas dan pengalaman mereka adalah orang-orang yang lebih layak dan berhak disebut sebagai Guru Berprestasi.
Telinga saya terus mendengarkan pengarahan panitia dan tim penilai, namun mata saya terus mencari-cari sosok yang namanya saya temukan dalam daftar peserta. Guru SMA saya ternyata duduk berselang dua orang di sebelah kiri , Guru (bahkan walikelas) saya di SMP belum saya temukan meskipun mata saya lelah berputar ke sekeliling ruangan.
Tiba-tiba saya ingat bapak yang sekarang berdiri di belakang saya karena kursinya diberikan kepada saya, saya pun menoleh ke belakang dan membaca name tag didadanya. Subhanallah...saya langsung berdiri dan saya sebut namanya, saya salami dan cium tangannya, sambil menjelaskan bahwa saya muridnya di SMPN 5 dulu. Wajahnya sudah banyak berubah dibandingkan 25 tahun lalu. Dia agak terperangah tapi kemudian tersenyum cerah. Bertepatan dengan panitia yang datang membawakan kursi tambahan. Pak Guru saya pun duduk di sebelah saya.
Sesi awal adalah tes tertulis, jenis soal merupakan aplikasi dari kemampuan pedagogik, akademik, profesional, sosial, teknologi informasi dan komunikasi. Awalnya saya malu untuk bertanya tentang beberapa poin yang saya tidak tahu, tapi ketika saya lihat beliau memilih opsi yang keliru pada sebuah poin soal dengan sopan saya mengingatkan bahwa jawaban yang benar adalah opsi lainnya. Berikutnya kami berdiskusi untuk menjawab soal-soal lainnya. Tidak terlihat seperti murid dan guru tetapi sebagai sesama guru. Meskipun saya tetap menempatkan dan memperlakukan beliau sebagai guru.
Sesi berikutnya adalah membuat essay tentang visi, misi, kegiatan, dan prestasi selama menjadi guru. Pak Guru ternyata memang lebih siap dari saya. Beliau sudah membuatnya di rumah, sementara saya malah belum punya gambaran apa pun tentang yang harus ditulis. Lalu beliau mengajari saya untuk membuat semacam evaluasi diri yang dituangkan dalam bentuk essay. Saya langsung membuka notebook dan mulai menulis.
Ternyata Panitia meminta softcopy dari essay dan persiapan presentasi dengan MsPP. Nah, Pak Guru saya mulai kebingungan. Penguasaan teknologinya agak lemah. Dengan sigap saya menawarkan diiri untuk membuatkan kembali sebuah essay dan persiapan presentasinya. Belaiu menjawab : 'selesaikan dulu punyamu, nanti baru bantu saya.. saya sudah sepuh, tidak jadi guru berprestasi jg tidak apa-apa..' Sedangkan saya berpikir berbeda, tanpa menjadi guru berprestasi pun dengan membantu orang lain agar mendapatkan predikat guru berprestasi berarti saya sudah mendapatkan prestasi.
Dalam waktu dua jam semua peserta di ruangan sudah tahu bahwa saya adalah murid si Pak Guru, rupanya beliau dengan bangga bercerita kepada peserta lain yang kebetulan sebagian besar adalah guru-guru senior bahwa saya adalah muridnya 28 tahun yang lalu.
Sesi ketiga seleksi pada hari berikutnya adalah mengumpulkan portofolio, melihat portofolio saya Pak Guru berkomentar: biaya fotocopy nya pasti hampir setengah juta untuk 3 eksemplar... Saya tertawa, dugaan beliau benar. Lalu dia berkata pada peserta lain: 'Saya hampir 40 tahun mengajar, poftofolio saya cuma setebal 1/4 rim kertas beserta 1 buah buku, murid saya baru 10 tahun lebih mengajar portofolionya setara dengan 1 1/2 rim kertas'. Saya mengajukan argumen bahwa portofoilo saya lebih tebal karena banyak hasil karya pengembangan profesi berupa modul belajar, karya tulis, hasil penelitian, media belajar, dsb. sedangkan sertifikat kegiatan profesional saya baru punya 31 lembar, forum ilmiah tingkat daerah cuma 10 lembar, tingkat nasional 4 lembar, tingkat internasional 2 lembar, jadi secara kualitas portofolio Pak Guru yang tipis mungkin lebih berbobot daripada portofolio saya yang tebal. Lalu dia bilang: Saya senang dan bangga bertemu kamu disini, dalam event ini.
Sesi keempat adalah presentasi, saya memberikan 'kursus kilat' kepada pak Guru untuk mengaplikasikan program MsPP. Presentasi beliau pun sukses.
Sesi kelima wawancara, nomor urut wawancara diundi. Peserta yang lebih dulu wawancara saling bercerita tentang materi pertanyaan selama wawancara yang berdurasi 30 menit. Pak Guru lebih dulu mendapat 'bocoran' lalu beliau memberi tahu saya tentang apa saja yang mungkin akan ditanyakan tim penilai. Ketika kami 'diskusi' saya membuat catatan-catatan kecil tentang materi yang ternyata belum dikuasai Pak Guru (Implementasi Kurikulum 2013 dan komparasinya dengan kurikulum 2004 dan 2006) sambil membuka file berisi acuan lengkap tentang kurikulum nasional dan Standar Nasional Pendidikan. Kami belajar bersama.
Selesai wawancara dia menyalami saya: Terimakasih, Laila. Semoga Kamu berhasil, kalau belum berhasil tahun ini (karena banyak yang senior) ikut lagi tahun depan. Saya yakin kamu pasti bisa.
Di rumah, saya bercerita tentang kejadian selama proses seleksi kepada anak saya, dia bilang: 'Bu, kalau Ibu menjadi Guru Berprestasi berarti Guru Ibu lah yang pantas menjadi Guru Berprestasi. Tapi kalau Guru Ibu yang menjadi Guru Berprestasi berarti Ibu juga sudah berprestasi.
Saya pun kembali pada niat awal, menjadi peserta yang baik, tampil dengan baik, menjadi teladan yang baik, tak perlu menjadi Guru Berprestasi jika hanya sebatas predikat.
Maka saya sama sekali tidak sedih ketika saya tidak menjadi Guru Berprestasi dengan alasan (yang setelah ditelusuri oleh kepala sekolah saya) karena saya Tidak Berlatar Belakang Sarjana Pendidikan. Padahal dalam sertifikat profesi dijelaskan bahwa saya adalah Guru Profesional.
Guru Tetap Guru. Pak Guru saya adalah Guru saya meskipun saya membantunya dalam beberapa hal, dan saya adalah Guru bahkan dimata Guru saya, terlebih dihadapan siswa saya, dan dalam banyak hal siswa saya adalah guru bagi saya. Sebab sejatinya sambil mengajar Guru pun belajar kepada peserta didiknya.
Apakah judul tulisan mestinya diubah menjadi "Setiap Orang Adalah Guru" ?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar